Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 1

Penyiapan bahan dan alat : Jerami, pagar bambu, ember, terpal, tali dan dekomposer.

Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 2

Memasukkan jerami ke dalam kotak yang terbuat dari pagar bammbu secara bersap sambil dipadatkan, setiap sap kurang lebih 25 cm.

Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 3

Siramkan Dekomposer yang telah dilarutkan dalam air secara merata pada setiap sap sehingga kelembaban sekitar 60%.

Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 4

Tumpukan jerami telah penuh hingga sap terakhir, lepas pagar sebelum ditutup terpal.

Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 5

Tumpukan ditutup rapat, diikat lalu diberi beban agar terpal penutup mengikuti penyusutan jerami.

Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 6

Jerami diinkubasikan sambil diamati perkembangannya, proses fermentasi berlangsung ditandai dengan kenaikan suhu.

Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 7

Dua hari kemudian tumpukan jerami telah menyusut volumenya, periksa kelembaban jerami bila tidak ada tanda-tanda proses fermentasi.

Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 8

Lima hari setelah inkubasi penyusutan volume jerami semakin banyak dan kompos siap digunakan bila tumpukan jerami tidak panas lagi.

Thursday, September 27, 2018

ORGANIK, THORIQOT BAGI PETANI

Pangan adalah kebutuhan dasar mahluk hidup. Manusia sebagai mahluk yang diistimewakan oleh Penciptanya memiliki keunikan dalam urusan pangan. Keunikan pertama, manusia ditakdirkan menjadi khalifah di bumi sehingga memungkinkan bisa mendapatkan makanannya dari apa saja yang ada di bumi. Dari tumbuhan, manusia bisa makan berbagai jenis makanan yang berupa biji-bijian (serealia), sayur dan buah-buahan. Manusia juga dapat mengkonsumsi daging sebagai makanan yang berasal dari binatang, baik yang hidupnya di air, di darat maupun yang aktivitasnya di udara. Sistem pencernaan yang sempurna ini menjadikannya sebagai mahluk omnivora, sehingga tidak membuatnya sulit memperoleh makanan.

Keunikan kedua adalah ditinggikannya derajat manusia dibandingkan mahluk lain karena mempunyai akal. Dengan akalnya, manusia tidak saja mampu menskrining asupan makanan yang dikonsumsi, tetapi juga bisa meningkatkan nilai atau kualitasnya dengan membuat pangan olahan. Dari sini manusia bisa memiih makanan yang bersih, higienis, beragam, bergizi dan lezat.



Keistimewaan manusia lainnya adalah mendapatkan panduan langsung dari Sang Pencipta dalam urusan pemenuhan kebutuhan perutnya. Sebagai Pemilik dan Penguasa atas kehidupan manusia, Allah SWT pasti mengetahui yang terbaik bagi ciptaan-Nya yaitu makanan yang HALAL dan BAIK (THOYIB) sebagaimana difirmankan dalam QS. Al Baqarah : 168

“Wahai sekalian manusia, makanlah yang Halal lagi Baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu”.

Dalam ayat lain, Allah SWT juga memerintahkan hal yang senada dengan ayat di atas yaitu dalam   QS. Al Maidah : 88

“dan makanlah makanan yang Halal lagi Baik (Thoyib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya”.

Jika panduan ini dijadikan dasar, maka makanan Halal dan Baik (thoyib) adalah SABIL (JALAN) atau arah yang dituju manusia dalam mendapatkan pangan sebagai kebutuhan dasar mahluk hidup. Halal saja tidak cukup, tetapi juga harus thoyib, baik dalam arti yang luas (bentuk, takaran, rasa, kandungan gizi dan keamanannya). Apakah bisa dikatakan baik jika makanan yang kita konsumsi mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh? Samakah kebaikan yang didapat dari makanan dengan nilai gizi tinggi dan yang tak bergizi?

Pertanyaan selanjutnya bagaimana mendapatkan makanan yang Halal dan Baik, mengingat manusia memiliki keanekaragaman profesi dengan tugas kekhalifaan sendiri-sendiri? Syariat yang dijalani seorang guru dalam mendapatkan makanan yang Halal dan Baik tidak akan sama dengan petani. Bila petani harus melewati proses kegiatan budidaya dari memillih bibit, mengolah tanah, menanam, memupuk, mengairi, mengendalikan hama/penyakit dan memanen terlebih dahulu, namun bagi profesi lain mungkin tidak akan mengalaminya. Standar Operasional Prosedur (SOP) bercocok tanam yang harus ditempuh petani tersebut adalah SYARI’ (JALAN) dalam mendapatkan makanan dari sabil yang sudah ditetapkannya. Jadi, syari’ itu juga merupakan jalan yang berisikan pedoman, prosedur atau rambu-rambu dalam setiap tindakan budidaya.

Ada banyak metode atau teknik yang diterapkan petani dalam kegiatan budidaya tanaman, mulai dari yang sederhana hingga yang detail, dari yang bersifat subsisten sampai komersil, yang tradisional maupun modern, yang konvensional ataupun yang ramah lingkungan. Munculnya gagasan baru, motif atau alasan dan kesadaran terhadap kesehatan dan lingkungan menjadi ilham lahirnya teknik-teknik baru. Kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang pertanian yang selalu berkembang pun menambah baik atau setidaknya mengarah pada perbaikan-perbaikan teknik yang sudah ada sebelumnya.

Sebagai contoh sistem pertanian organik, muncul dan menguak ketika tingkat kesuburan tanah mulai turun dan terlihat adanya kerusakan pada lingkungan ekosistem petanian akibat eksploitasi lahan secara masif dengan dalih swasembada melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Sistem ini makin berkembang ketika motif ekonomi sudah tidak menjadi satu-satunya alasan dalam memproduksi bahan pangan. Organik lebih mendunia manakala kesadaran pentingnya pangan sehat semakin kuat. Sistem Pertanian Organik tidak hanya menjaga lingkungan tetap baik dan kesinambungan produksi pangan, melainkan juga menghasilkan produk pangan yang sehat (baik). Lebih dari itu, organik tidak hanya sekedar produk yang dihasilkan oleh petani, melainkan sikap dan perilaku petani itu sendiri.

Dengan demikian, SISTEM PERTANIAN ORGANIK merupakan THORIQ (JALAN) bagi petani dalam mendapatkan makanan yang Halal dan Baik sekaligus menjalankan usaha taninya. Sebagai thoriqot, organik lebih baik dan lebih menguntungkan daripada budidaya dengan sistem LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) maupun budidaya non pestisida. Kebaikan yang melekat pada produk pangan organik adalah aman dikonsumsi karena tidak mengandung zat aditif atau bahan kimia berbahaya lainnya, memiliki cita rasa yang khas serta nilai ekonomis yang lebih tinggi. Disamping itu, produk organik juga memiliki peluang bisinis yang bagus karena potensi pasar tinggi dan kecenderungan atau tren lebih disukai konsumen.

Tuntutan kebutuhan yang terus menerus berubah akan diikuti dengan perubahan-perubahan lain untuk memenuhinya. Kedinamisan ini juga terjadi dalam pangan, jalan untuk mendapatkan makanan yang Halal dan Baik akan menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Kemungkinan munculnya teknik-teknik baru sangat terbuka, thoriq lama bisa ditinggalkan atau bisa juga masih digunakan tetapi sudah mengalami perbaikan-perbaikan. Ujung dari perjalanan manusia dalam mendapatkan makanan yang Halal dan Baik akan berakhir pada SHIROTH (JALAN) yang hanya Penciptanya saja yang mengetahui. Manusia tidak bisa melakukan apa-apa, bahakan tidak mengetahui apa-apa tentang jalan itu. Manusia hanya boleh berharap agar shiroth yang akan ditempuhnya adalah jalan lurus dimana Halal dan Baik akan berubah menjadi Keindahan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Monday, August 10, 2015

LIYURAN, SOLUSI SYAR’I EFISIENSI USAHA TANI

Dinamika pertanian di negeri ini berkembang pesat, terlebih lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta kemudahan untuk mengaksesnya. Perubahan regulasi yang memberi ruang lebih luas bagi petani untuk mengembangkan usaha taninya, memungkinkan mereka untuk mengelola usaha tani dengan komoditas yang dikehendakinya, bebas memilih varietas yang disukainya serta menentukan waktu penanamannya. Kondisi demikian ini sangat baik bagi pembangunan pertanian itu sendiri, ada modernisasi dalam teknik budidaya dan sistem usaha tani.
Sayangnya perubahan ini juga membawa dampak lain terhadap pergeseran nilai sosial yang telah ada. Kebebasan mengelola usaha tani memunculkan sikap egoisme di kalangan petani yang lambat laun mengakar dalam kegiatan budidaya tanaman. Perilaku  individualis ini yang mengakibatkan semangat petani untuk berkelompok kian memudar, kekompakan makin sulit diciptakan dan budaya kerjasama atau gotong royong mulai luntur. Salah satu bentuk gotong royong yang pernah dilakukan oleh petani dahulu adalah liyuran. Beberapa petani bekerja secara bersama-sama saling membantu menyelesaikan pekerjaan dalam kegiatan bercocok tanamnya, misalnya mengolah tanah, membersihkan gulma atau mengendalikan hama.


Liyuran sangat tepat diterapkan dalam sistem usaha tani saat ini untuk mengatasi permasalahan kelangkaan tenaga kerja yang berakibat pada mahalnya upah. Jika tenaga sendiri diperhitungkan dalam input biaya produksi, maka biaya yang dikeluarkan untuk membayar tenaga kerja (dari pra panen sampai pasca panen) bisa mencapai 78%. Lebih tinggi dari biaya untuk pengadaan sarana produksi atau biaya-biaya lain seperti iuran dan sewa lahan. Dengan bekerja bersama biaya produksi bisa ditekan, usaha tani semakin efisien.
Tidak hanya itu, liyuran memudahkan para pelaku dalam mendiskusikan permasalahan usaha tani yang dihadapi, baik yang menyangkut teknik budidaya, pemasaran dan pengolahan hasil atau bahkan masalah dalam mengakses permodalan. Mereka bisa memahami kelebihan dan kekurangan teknik budidaya yang diterapkan, mengetahui sarana produksi yang digunakan serta cara mengaplikasikannya.
Bagi mereka yang beriman, liyuran yang ditujukan untuk membantu mengatasi kesulitan petani dalam mencari tenaga kerja merupakan ladang ibadahnya. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang isinya “Barangsiapa yang membebaskan satu kesusahan seorang mukmin dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan melepaskannya dari satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan akhirat. Barangsiapa memberikan kemudahan kepada orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan dia di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya”.
Dengan segala manfaat yang bisa didapatkan dalam liyuran, maka nilai luhur yang dahulu pernah dilakukan ini harus dihidupkan kembali. Liyuran sebagai kearifal lokal yang nyaris hilang itu mesti dibangkitkan dan digalakkan lagi. Petani sebagai pelaku utama kegiatan usaha tani sepatutnya menerapkan liyuran agar sistem usaha taninya lebih efisien.

Thursday, August 6, 2015

KATAKAN TIDAK UNTUK PUPUK BERSUBSIDI

KATAKAN TIDAK UNTUK PUPUK BERSUBSIDI

Ungkapan itu bisa saja dianggap berlebihan, sok hebat atau mungkin gila karena sesungguhnya dengan kondisi tanah yang sudah tidak subur lagi, pupuk tetap dibutuhkan untuk mempertahankan produktivitas tanaman tetap tinggi. Namun bukan tidak beralasan jika petani mengatakan itu. Penurunan tingkat kesuburan tanah merupakan salah satu dampak dari revolusi hijau, intensifikasi menjadi program unggulan dalam rangka mendukung program pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan. Untuk memacu produksi, ketersediaan air irigasi difasilitasi untuk meningkatkan indeks pertanaman sampai 100%, varietas unggul lokal tersingkir oleh varietas-varietas baru yang rakus hara, keseimbangan alam mulai rusak akibat penggunaan pestisida secara berkala, keanekaragaman biota tanah makin berkurang dengan mekanisasi alat pengolah. Tanah (lahan) persawahan benar-benar diperkosa kesuburannya.
Memang benar kala itu pemerintah mengupayakan penyediaan sarana produksi, infrastruktur pertanian juga dibangun secara besar-besaran, bahkan bimbingan dan penyuluhan pun dilakukan secara massal dan intensif untuk transformasi ilmu pengetahuan/teknologi. Singkat kata, pada masa itu petani sangat diperhatikan dan barangkali waktu itulah masa keemasan pertanian bangsa ini. Dampak positif bagi petani adalah naiknya pendapatan, taraf hidup naik dan kesejahteraan pun serasa dekat dengan mereka. Namun sayang, program tersebut berumur pendek karena kurang memperhatikan keseimbangan alam untuk kesinambungan produktivitas. Tanah yang diwariskan kepada generasi sekarang sudah tidak subur lagi, miskin unsur hara dan tercemar oleh residu pestisida. Maka jangan salahkan petani jika masih bergantung pada pupuk kimia dan pestisida untuk menjaga produktivitas tanaman tidak turun.
Program-program pemerintah untuk swasembada pangan,menjaga ketahanan, kedaulatan atau pun kemandirian pangan terkesan seperti memaksa petani melakukannya. Bagi petani, sebagai warga negara yang baik dan patuh terhadap pemerintah tidak akan mengambil pusing dari program-program yang dicanangkan pemerintah, entah itu bersifat paksaan, ajakan maupun himbauan selagi program itu menguntungkan buat petani dan bisa mensejahterakan kehidupannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk mendukung semua program tersebut, pemerintah selalu memberikan fasilitas buat petani, baik itu berupa subsidi, perbaikan infrastruktur, pengadaan sarana dan prasarana maupun bantuan-bantuan lain.
Khusus masalah pupuk, pemerintah secara serius mengalokasikan dana dengan memberikan subsidi guna membantu meringankan beban petani dalam mencukupi kebutuhan sarana produksi. Tidak hanya itu, pendampingan dan pengawalan dalam penyusunan Rencana Definitif Kelompok/Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDK/RDKK) pun turut difasilitasi agar subsidi bisa sampai kepada petani dan tidak salah sasaran. Pertanyaannya, “apakah subsidi pupuk benar-benar DINIKMATI petani?” Atau lebih serius lagi “apakah dana yang dialokasikan untuk mensubidi pupuk bisa meningkatkan KESEJAHTERAAN petani?”.


Idealnya petani bisa dengan mudah mendapatkan pupuk bersubsidi setiap membutuhkan dengan harga sesuai yang ditetapkan dari kios terdekat. Namun secara faktual, seringkali petani mengalami kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi pada saat pemakaian, harganya jauh lebih tinggi dari Harga Eceran Tertingi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah dan aksesnya pun tidak semudah yang diharapkan karena keberadaannya hanya di kios pengecer resmi yang lokasinya ditentukan oleh distributor (lini III). Dengan kondisi seperti ini saja dapat disimpulkan bahwa petani belum sepenuhnya “menikmati” fasilitasi dari pemerintah berupa pupuk bersubsidi.
Secara usaha tani, input biaya produksi yang berasal dari sarana produksi sebetulnya berkisar antara 9 - 12 %, jauh lebih kecil dibandingkan dengan input biaya untuk tenaga kerja yang mencapai 71 – 78%. Itu artinya bahwa fasilitasi pemerintah dalam penyediaan sarana produksi tidak banyak membantu memecahkan persoalan yang dihadapi petani. Sebaliknya, lebih bermanfaat jika pemerintah memberikan reward atau insentif kepada petani agar dapat mengurangi beban yang dikeluarkan untuk biaya tenaga kerja.
Fenomena lainnya adalah terpuruknya harga produk pertanian pada saat panen raya, sedangkan petani yang bisa memanen hasil usaha taninya sebelum tiba panen raya akan menuai harga yang fantastis. Sebagai ilustrasi, harga jual padi seluas seperempat bau (1750 m2) dengan sistem tebasan sebelum panen raya bisa mencapai 5 (lima) juta rupiah, sedangkan pada saat panen raya sekitar 3 (tiga) juta rupiah. Jika setiap panen harga jualnya seperti kondisi yang pertama, maka bisa dipastikan semua petani rela membeli pupuk meskipun dengan harga tinggi atau bahkan pupuk non subsidi.
Dengan kondisi demikian, sepatutnya petani berani bersikap untuk : pertama, menuntut kepada pemerintah untuk memberikan insentif bagi tenaga kerja. Kedua, menolak subsidi pupuk dan mengalihkannya untuk memproteksi hasil usaha taninya dari keterpurukan harga. Dan ketiga, petani harus mengupayakan peningkatan produktivitas tanah dengan mengembalikan tingkat kesuburannya.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites