Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 1

Penyiapan bahan dan alat : Jerami, pagar bambu, ember, terpal, tali dan dekomposer.

Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 2

Memasukkan jerami ke dalam kotak yang terbuat dari pagar bammbu secara bersap sambil dipadatkan, setiap sap kurang lebih 25 cm.

Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 3

Siramkan Dekomposer yang telah dilarutkan dalam air secara merata pada setiap sap sehingga kelembaban sekitar 60%.

Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 4

Tumpukan jerami telah penuh hingga sap terakhir, lepas pagar sebelum ditutup terpal.

Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 5

Tumpukan ditutup rapat, diikat lalu diberi beban agar terpal penutup mengikuti penyusutan jerami.

Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 6

Jerami diinkubasikan sambil diamati perkembangannya, proses fermentasi berlangsung ditandai dengan kenaikan suhu.

Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 7

Dua hari kemudian tumpukan jerami telah menyusut volumenya, periksa kelembaban jerami bila tidak ada tanda-tanda proses fermentasi.

Pembuatan Kompos Jerami : Gambar 8

Lima hari setelah inkubasi penyusutan volume jerami semakin banyak dan kompos siap digunakan bila tumpukan jerami tidak panas lagi.

Monday, August 10, 2015

LIYURAN, SOLUSI SYAR’I EFISIENSI USAHA TANI

Dinamika pertanian di negeri ini berkembang pesat, terlebih lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta kemudahan untuk mengaksesnya. Perubahan regulasi yang memberi ruang lebih luas bagi petani untuk mengembangkan usaha taninya, memungkinkan mereka untuk mengelola usaha tani dengan komoditas yang dikehendakinya, bebas memilih varietas yang disukainya serta menentukan waktu penanamannya. Kondisi demikian ini sangat baik bagi pembangunan pertanian itu sendiri, ada modernisasi dalam teknik budidaya dan sistem usaha tani.
Sayangnya perubahan ini juga membawa dampak lain terhadap pergeseran nilai sosial yang telah ada. Kebebasan mengelola usaha tani memunculkan sikap egoisme di kalangan petani yang lambat laun mengakar dalam kegiatan budidaya tanaman. Perilaku  individualis ini yang mengakibatkan semangat petani untuk berkelompok kian memudar, kekompakan makin sulit diciptakan dan budaya kerjasama atau gotong royong mulai luntur. Salah satu bentuk gotong royong yang pernah dilakukan oleh petani dahulu adalah liyuran. Beberapa petani bekerja secara bersama-sama saling membantu menyelesaikan pekerjaan dalam kegiatan bercocok tanamnya, misalnya mengolah tanah, membersihkan gulma atau mengendalikan hama.


Liyuran sangat tepat diterapkan dalam sistem usaha tani saat ini untuk mengatasi permasalahan kelangkaan tenaga kerja yang berakibat pada mahalnya upah. Jika tenaga sendiri diperhitungkan dalam input biaya produksi, maka biaya yang dikeluarkan untuk membayar tenaga kerja (dari pra panen sampai pasca panen) bisa mencapai 78%. Lebih tinggi dari biaya untuk pengadaan sarana produksi atau biaya-biaya lain seperti iuran dan sewa lahan. Dengan bekerja bersama biaya produksi bisa ditekan, usaha tani semakin efisien.
Tidak hanya itu, liyuran memudahkan para pelaku dalam mendiskusikan permasalahan usaha tani yang dihadapi, baik yang menyangkut teknik budidaya, pemasaran dan pengolahan hasil atau bahkan masalah dalam mengakses permodalan. Mereka bisa memahami kelebihan dan kekurangan teknik budidaya yang diterapkan, mengetahui sarana produksi yang digunakan serta cara mengaplikasikannya.
Bagi mereka yang beriman, liyuran yang ditujukan untuk membantu mengatasi kesulitan petani dalam mencari tenaga kerja merupakan ladang ibadahnya. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang isinya “Barangsiapa yang membebaskan satu kesusahan seorang mukmin dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan melepaskannya dari satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan akhirat. Barangsiapa memberikan kemudahan kepada orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan dia di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya”.
Dengan segala manfaat yang bisa didapatkan dalam liyuran, maka nilai luhur yang dahulu pernah dilakukan ini harus dihidupkan kembali. Liyuran sebagai kearifal lokal yang nyaris hilang itu mesti dibangkitkan dan digalakkan lagi. Petani sebagai pelaku utama kegiatan usaha tani sepatutnya menerapkan liyuran agar sistem usaha taninya lebih efisien.

Thursday, August 6, 2015

KATAKAN TIDAK UNTUK PUPUK BERSUBSIDI

KATAKAN TIDAK UNTUK PUPUK BERSUBSIDI

Ungkapan itu bisa saja dianggap berlebihan, sok hebat atau mungkin gila karena sesungguhnya dengan kondisi tanah yang sudah tidak subur lagi, pupuk tetap dibutuhkan untuk mempertahankan produktivitas tanaman tetap tinggi. Namun bukan tidak beralasan jika petani mengatakan itu. Penurunan tingkat kesuburan tanah merupakan salah satu dampak dari revolusi hijau, intensifikasi menjadi program unggulan dalam rangka mendukung program pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan. Untuk memacu produksi, ketersediaan air irigasi difasilitasi untuk meningkatkan indeks pertanaman sampai 100%, varietas unggul lokal tersingkir oleh varietas-varietas baru yang rakus hara, keseimbangan alam mulai rusak akibat penggunaan pestisida secara berkala, keanekaragaman biota tanah makin berkurang dengan mekanisasi alat pengolah. Tanah (lahan) persawahan benar-benar diperkosa kesuburannya.
Memang benar kala itu pemerintah mengupayakan penyediaan sarana produksi, infrastruktur pertanian juga dibangun secara besar-besaran, bahkan bimbingan dan penyuluhan pun dilakukan secara massal dan intensif untuk transformasi ilmu pengetahuan/teknologi. Singkat kata, pada masa itu petani sangat diperhatikan dan barangkali waktu itulah masa keemasan pertanian bangsa ini. Dampak positif bagi petani adalah naiknya pendapatan, taraf hidup naik dan kesejahteraan pun serasa dekat dengan mereka. Namun sayang, program tersebut berumur pendek karena kurang memperhatikan keseimbangan alam untuk kesinambungan produktivitas. Tanah yang diwariskan kepada generasi sekarang sudah tidak subur lagi, miskin unsur hara dan tercemar oleh residu pestisida. Maka jangan salahkan petani jika masih bergantung pada pupuk kimia dan pestisida untuk menjaga produktivitas tanaman tidak turun.
Program-program pemerintah untuk swasembada pangan,menjaga ketahanan, kedaulatan atau pun kemandirian pangan terkesan seperti memaksa petani melakukannya. Bagi petani, sebagai warga negara yang baik dan patuh terhadap pemerintah tidak akan mengambil pusing dari program-program yang dicanangkan pemerintah, entah itu bersifat paksaan, ajakan maupun himbauan selagi program itu menguntungkan buat petani dan bisa mensejahterakan kehidupannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk mendukung semua program tersebut, pemerintah selalu memberikan fasilitas buat petani, baik itu berupa subsidi, perbaikan infrastruktur, pengadaan sarana dan prasarana maupun bantuan-bantuan lain.
Khusus masalah pupuk, pemerintah secara serius mengalokasikan dana dengan memberikan subsidi guna membantu meringankan beban petani dalam mencukupi kebutuhan sarana produksi. Tidak hanya itu, pendampingan dan pengawalan dalam penyusunan Rencana Definitif Kelompok/Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDK/RDKK) pun turut difasilitasi agar subsidi bisa sampai kepada petani dan tidak salah sasaran. Pertanyaannya, “apakah subsidi pupuk benar-benar DINIKMATI petani?” Atau lebih serius lagi “apakah dana yang dialokasikan untuk mensubidi pupuk bisa meningkatkan KESEJAHTERAAN petani?”.


Idealnya petani bisa dengan mudah mendapatkan pupuk bersubsidi setiap membutuhkan dengan harga sesuai yang ditetapkan dari kios terdekat. Namun secara faktual, seringkali petani mengalami kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi pada saat pemakaian, harganya jauh lebih tinggi dari Harga Eceran Tertingi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah dan aksesnya pun tidak semudah yang diharapkan karena keberadaannya hanya di kios pengecer resmi yang lokasinya ditentukan oleh distributor (lini III). Dengan kondisi seperti ini saja dapat disimpulkan bahwa petani belum sepenuhnya “menikmati” fasilitasi dari pemerintah berupa pupuk bersubsidi.
Secara usaha tani, input biaya produksi yang berasal dari sarana produksi sebetulnya berkisar antara 9 - 12 %, jauh lebih kecil dibandingkan dengan input biaya untuk tenaga kerja yang mencapai 71 – 78%. Itu artinya bahwa fasilitasi pemerintah dalam penyediaan sarana produksi tidak banyak membantu memecahkan persoalan yang dihadapi petani. Sebaliknya, lebih bermanfaat jika pemerintah memberikan reward atau insentif kepada petani agar dapat mengurangi beban yang dikeluarkan untuk biaya tenaga kerja.
Fenomena lainnya adalah terpuruknya harga produk pertanian pada saat panen raya, sedangkan petani yang bisa memanen hasil usaha taninya sebelum tiba panen raya akan menuai harga yang fantastis. Sebagai ilustrasi, harga jual padi seluas seperempat bau (1750 m2) dengan sistem tebasan sebelum panen raya bisa mencapai 5 (lima) juta rupiah, sedangkan pada saat panen raya sekitar 3 (tiga) juta rupiah. Jika setiap panen harga jualnya seperti kondisi yang pertama, maka bisa dipastikan semua petani rela membeli pupuk meskipun dengan harga tinggi atau bahkan pupuk non subsidi.
Dengan kondisi demikian, sepatutnya petani berani bersikap untuk : pertama, menuntut kepada pemerintah untuk memberikan insentif bagi tenaga kerja. Kedua, menolak subsidi pupuk dan mengalihkannya untuk memproteksi hasil usaha taninya dari keterpurukan harga. Dan ketiga, petani harus mengupayakan peningkatan produktivitas tanah dengan mengembalikan tingkat kesuburannya.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites