Jika pestisida didefinisikan sebagai semua bahan atau campurah bahan, baik kimia maupun biologi yang digunakan untuk mengendalikan jasad pengganggu, maka penggunaan pestisida hampir tidak bisa dipisahkan dari sistem usaha tani yang dikelola secara intensif -dimana produktivitas dan indeks panen menjadi preferensinya-. Namun konotasi pestisida telah bergerser, lebih sempit dan diartikan sebagai bahan/senyawa kimia sintetis yang merugikan, baik terhadap agroelosistem maupun kesehatan (termasuk deposit dan residunya). Ini bukan tanpa alasan, bahaya yang diakibatkan oleh penggunaan pestisida sintetis organik/anorganik yang tidak tepat dapat memunculkan masalah-masalah baru.
Dalam sistem pangan organik, sesuai Standar Nasional Indonesia SNI_6729-2010 (revisi SNI_01-6729-2002) salah satu bahan yang dibolehkan untuk pengendalian OPT dan penyakit tanaman adalah Pestisida Nabati (Tabel B.2-A). SNI Sistem Pangan Organik bisa diunduh di sini.
Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Kandungan alkaloid atau atsiri yang ada dalam tumbuhan (daun, akar, umbi, rimpang, batang, kulit, bunga dan biji) mempunyai efek antifeedant, repelant, attractant, ovisidal dan larvisidal.
Tumbuhan-tumbuhan yang sering digunakan sebagai pestisida nabati, antara lain :
Daun : Nimba (Azadirachta indica), Mindi (Melia azedarach), Sirsak
Biji : Mahoni (Swietenia sp), Bengkoang
Batang (kayu, kulit) : pasak bumi, pinus, bratawali, serai
Akar : Tuba, Babadotan
Rimpang : Lempuyang, jeringau
Umbi : Gadung, bawang putih
Bunga : Krisan, Selasih
Buah : Mengkudu, Maja
Kelebihan dan Kekurangan Pestisida Nabati
Dalam konsep Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) maupun system pertanian organic, pestisida nabati merupakan salah satu alternative untuk mengendalikan OPT. Ini karena pestisida nabati mempunyai beberapa kelebihan, antara lain :
- Mudah dan cepat terdegradasi oleh sinar matahari, sehinggu tidak meninggalkan deposit/residu yang berbahaya bari manusia
- Pengaruhnya cepat yaitu menggangu/menghentikan nafsu makan serangga, meskipun jarang langsung menyebabkan kematian
- Toksisitas rendah sehingga tidak berbahaya terhadap binatang ternak, kesehatan manusia maupun jasad non sasaran
- Efektif mengendalikan OPT yang telah resisten terhadap pestisida kimia sintetis
- Fitotoksisitas rendah sehingga tidak menggangu tanaman
- Spektrum pengendalian luas (racun lambung dan ravun syaraf)
- Murah dan mudah dibuat oleh petani
Namun demikian, penggunaan pestisida juga memiliki kelemahan, yaitu :
- Cepat terurai, sehingga interval aplikasinya harus sering
- Daya racun rendah, sehingga OPT tidak langsung mati
- Ketersediaan bahan terkadang menjadi kendala
Pembuatan Pestisida Nabati
Pembuatan pestisida nabati tidak terlampau sulit, di dunia maya pun banyak artikel-artikel yang berkenaan dengan pestisida nabati, baik bahan-bahannya, cara pembuatan, cara aplikasi maupun manfaatnya, yang paling sering kita dengar adalah dengan mengekstraksinya atau bahkan hanya direndam saja.
Ada beberapa hal yang mungkin perlu kita perhatikan, yakni bahwa bahan-bahan atau senyawa yang bersifat pestisidal dalam tumbuhan seringkali berupa minyak atau lemak/sterol, alkaloida, terpen/terpenoid, senyawa fenolik atau senyawa benzoat/sinamat/turunan koumarin yang mudah larut dalam pelarut organik. Sebaliknya, kandungan bahan larut air yang bersifat racun jarang dijumpai. Jadi untuk mendapatkan pestisida nabati yang baik, semestinya tidak cukup dilumat/dihaluskan lalu direndam. pelarut organik umum digunakan dalam proses tersebut seperti alkohol (terutama metanol), asetonitril, heksan, khloroform, petroleum eter, bensen atau ligroin.
Ekstraksi bahan bisa langsung dilakukan jika menggunakan alat soxhlet. Jika tidak ada, maka bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Pengeringan, bisa dengan penjemuran atau dipanaskan dalam oven dengan suhu di bawah 50°Celcius sehingga berat bahan tinggal setengahnya. Hal ini dikarenakan sebagian besar bahan-bahan nabati adalah air.
Maserasi, penghancuran atau pelumatan bahan dalam pelarut organik (contoh metanol). Perbandingan antara bahan dan pelarutnya adalah 1 : 4 (satuan berat/volume)
Filtrasi, campuran bahan terlarut kemudian disaring menggunakan corong buchner dilapisi kertas saring. Sisa penyaringan dibuang, sementara hasil penyaringan (filtrat) diuapkan dengan evaporator dalam suhu 40°Celcius sampai volume minimum (disebut F1). Selanjutnya, filtrat tersebut dimasukkan ke dalam corong funnel, kemudian ditambahkan kloroform dan air dengan perbandingan 3xF1 : 4xF1 (satuan volume). Campuran tersebut ditambahi NaCl sebanyak 0,7%-nya, didiamkan selama 24 jam sampai terjadi pemisahan antara air dan metanol kloroform (disebut F2). Selanjutnya, metanol kloroform diuapkan lagi dengan evaporator pada suhu 40°Celcius sampai volume tetap (F3). Ekstrak siap digunakan dengan pelarut aseton.
Uji toksisitas, pengujian efikasi ekstrak pada berbagai konsentrasi sehingga menyebabkan mortalitas jasad sasaran setengahnya (Lethal Concentrate : LC50).
Catatan :
- untuk mendapatkan hasil terbaik, sebaiknya ekstrak dimurnikan dahulu, namun prosesnya cukup panjang (mungkin bisa diposting lain waktu)
- pelarut organik yang digunakan termasuk jenis bahan yang dibolehkan dalam SNI Sistem Pangan Organik