KATAKAN TIDAK UNTUK PUPUK BERSUBSIDI
Ungkapan itu bisa saja dianggap
berlebihan, sok hebat atau mungkin gila karena sesungguhnya dengan kondisi
tanah yang sudah tidak subur lagi, pupuk tetap dibutuhkan untuk mempertahankan
produktivitas tanaman tetap tinggi. Namun bukan tidak beralasan jika petani
mengatakan itu. Penurunan tingkat kesuburan tanah merupakan salah satu dampak
dari revolusi hijau, intensifikasi menjadi program unggulan dalam rangka
mendukung program pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan. Untuk memacu
produksi, ketersediaan air irigasi difasilitasi untuk meningkatkan indeks
pertanaman sampai 100%, varietas unggul lokal tersingkir oleh varietas-varietas
baru yang rakus hara, keseimbangan alam mulai rusak akibat penggunaan pestisida
secara berkala, keanekaragaman biota tanah makin berkurang dengan mekanisasi
alat pengolah. Tanah (lahan) persawahan benar-benar diperkosa kesuburannya.
Memang benar kala itu
pemerintah mengupayakan penyediaan sarana produksi, infrastruktur pertanian
juga dibangun secara besar-besaran, bahkan bimbingan dan penyuluhan pun
dilakukan secara massal dan intensif untuk transformasi ilmu
pengetahuan/teknologi. Singkat kata, pada masa itu petani sangat diperhatikan
dan barangkali waktu itulah masa keemasan pertanian bangsa ini. Dampak positif
bagi petani adalah naiknya pendapatan, taraf hidup naik dan kesejahteraan pun
serasa dekat dengan mereka. Namun sayang, program tersebut berumur pendek
karena kurang memperhatikan keseimbangan alam untuk kesinambungan produktivitas.
Tanah yang diwariskan kepada generasi sekarang sudah tidak subur lagi, miskin
unsur hara dan tercemar oleh residu pestisida. Maka jangan salahkan petani jika
masih bergantung pada pupuk kimia dan pestisida untuk menjaga produktivitas
tanaman tidak turun.
Program-program pemerintah
untuk swasembada pangan,menjaga ketahanan, kedaulatan atau pun kemandirian
pangan terkesan seperti memaksa petani melakukannya. Bagi petani, sebagai warga
negara yang baik dan patuh terhadap pemerintah tidak akan mengambil pusing dari
program-program yang dicanangkan pemerintah, entah itu bersifat paksaan, ajakan
maupun himbauan selagi program itu menguntungkan buat petani dan bisa
mensejahterakan kehidupannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk mendukung semua
program tersebut, pemerintah selalu memberikan fasilitas buat petani, baik itu
berupa subsidi, perbaikan infrastruktur, pengadaan sarana dan prasarana maupun
bantuan-bantuan lain.
Khusus masalah pupuk,
pemerintah secara serius mengalokasikan dana dengan memberikan subsidi guna membantu
meringankan beban petani dalam mencukupi kebutuhan sarana produksi. Tidak hanya
itu, pendampingan dan pengawalan dalam penyusunan Rencana Definitif
Kelompok/Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDK/RDKK) pun turut difasilitasi
agar subsidi bisa sampai kepada petani dan tidak salah sasaran. Pertanyaannya,
“apakah subsidi pupuk benar-benar DINIKMATI petani?” Atau
lebih serius lagi “apakah dana yang dialokasikan untuk mensubidi pupuk bisa
meningkatkan KESEJAHTERAAN petani?”.
Idealnya petani bisa dengan
mudah mendapatkan pupuk bersubsidi setiap membutuhkan dengan harga sesuai yang
ditetapkan dari kios terdekat. Namun secara faktual, seringkali petani
mengalami kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi pada saat pemakaian, harganya
jauh lebih tinggi dari Harga Eceran Tertingi (HET) yang ditetapkan oleh
pemerintah dan aksesnya pun tidak semudah yang diharapkan karena keberadaannya
hanya di kios pengecer resmi yang lokasinya ditentukan oleh distributor (lini
III). Dengan kondisi seperti ini saja dapat disimpulkan bahwa petani belum
sepenuhnya “menikmati” fasilitasi dari pemerintah berupa pupuk bersubsidi.
Secara usaha tani, input biaya produksi
yang berasal dari sarana produksi sebetulnya berkisar antara 9 - 12 %, jauh
lebih kecil dibandingkan dengan input biaya untuk tenaga kerja yang mencapai 71
– 78%. Itu artinya bahwa fasilitasi pemerintah dalam penyediaan sarana produksi
tidak banyak membantu memecahkan persoalan yang dihadapi petani. Sebaliknya, lebih
bermanfaat jika pemerintah memberikan reward atau insentif kepada petani agar
dapat mengurangi beban yang dikeluarkan untuk biaya tenaga kerja.
Fenomena lainnya adalah
terpuruknya harga produk pertanian pada saat panen raya, sedangkan petani yang
bisa memanen hasil usaha taninya sebelum tiba panen raya akan menuai harga yang
fantastis. Sebagai ilustrasi, harga jual padi seluas seperempat bau (1750 m2) dengan
sistem tebasan sebelum panen raya bisa mencapai 5 (lima) juta rupiah, sedangkan
pada saat panen raya sekitar 3 (tiga) juta rupiah. Jika setiap panen harga
jualnya seperti kondisi yang pertama, maka bisa dipastikan semua petani rela
membeli pupuk meskipun dengan harga tinggi atau bahkan pupuk non subsidi.
Dengan kondisi demikian,
sepatutnya petani berani bersikap untuk : pertama, menuntut kepada pemerintah
untuk memberikan insentif bagi tenaga kerja. Kedua, menolak subsidi pupuk dan
mengalihkannya untuk memproteksi hasil usaha taninya dari keterpurukan harga. Dan
ketiga, petani harus mengupayakan peningkatan produktivitas tanah dengan
mengembalikan tingkat kesuburannya.